Salah satu aspek dari pemerintah yang harus diataur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang di ketahui, anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran Daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Angaran daerah di gunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritas pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembagan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotifasi pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi proritas dan preferansi daerah yang bersangkutan.
Dengan di berlakuakannya undang-undang otonomi daerah dan di berlakukannya Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang mengatur tentang pajak daerah dan retrribusi daerah, yang kemudian disempurnakan kembali dalam undang-undang No. 28 Tahun 2009 pada tanggal 15 september 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2010. Undang-undang ini lahir dengan mempertimbangan bahwa undang-undang No 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang NO 34 Tahun 2000 perlu di sesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah.
Hal-hal yang menjadi latar belakang dilaksanakan reformasi dalam undang-undang PDRD dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang No 28 tahun 2009. Dalam bagian umum penjelasan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kapupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiabn mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pajak sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pengutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada undang-undang.
Pengaturan kewenangan pajak dan retribusi kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi daerah.
Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaranya. Sobel dan Hocombe (1996) dalam andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan di sebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi persoalan ini bisa mengalami tekanan fiskal (fiscal stress) manjadi semakin tinggi di karenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang di tunjukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada.
Shamsub & Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam tiga kelompok, yaitu;
1. menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress. Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi
2. menekankan bahwa ketiadaan persaingan bisnis dan kemunduran industry sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. YU dan Korman (1987) dalam (shamsub & Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran industry menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress.
3. menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan factor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (shamsub & Akoto, 2004) menunjukan bahwa sebahagian dari peran ketidak efisienan biriokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscak stress.
Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran sacara efisien dan masyarakat tidak ingin mengontorl anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan retribusi. Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melapaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerinyah pusat. Dalam erah ini idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat fiscal stress tinggi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (shamsud & Akoto, 2004). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi Fiscal stress. Uapaya pajak (Tax Effrot) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui pebandingan hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort menunjukan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang di tetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar