Penerapan sistem otonomi daerah (OTODA) dalam bingkai pembangunan nasional, dengan diberlakukannya dua paket kebijakan yakni Undang-undang nomor 32 tahun 2003 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan resolusi aspiratif pembangunan nasional. Otonomi yang luas serta perimbangan keuangan yang lebih adil, proporsional dan transparan antara tingkat pemerintahan menjadi tuntutan setiap daerah otonom.
Penerapan Otonomi daerah sebagai upaya untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah secara proporsional diwujudkan dengan peraturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya daerah yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah. Lebih khusus bahwa undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut.
Hakikat otonomi daerah yaitu berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, Sehingga konsekuensi dari pelaksanaan OTODA dan tuntutan pemerintahan daerah yang baik (good governance) adalah bahwa pemerintah daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. upaya mewujudkan cita-cita pembangunan daerah, bangsa dan negara sebagaimana tersirat dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945.
Dalam kontek pembangunan daerah, kebijakan keuangan daerah sentiasa diarahkan pada tecapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berazaskan pancasila dan undang-undang dasar 1945 dengan meningkatkan kemakmuaran rakyat yang merata, namun dalam proses pelaksanaan otonomi daerah baik, aturan, kewenangan, serta mekanisme kerja yang telah ditetapkan tidaklah menjamin untuk dijalankan dengan baik, lagi-lagi realitas pembangunan menyatakan kita akan krisis moral oleh pelaksana pembangunan yang berujung pada kecenderungan adanya penyimpangan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Berdasarkan semangat otonomi daerah dan tuntutan pemerintahan yang governance, maka diharapkan kepada setiap pemerintah daerah dan lebih khusus pemerintah daerah kota Makassar agar dalam menjalankan tugas dan wewenang pembangunan daerah utamanya yang menyangkut dengan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) agar semaksimal mungkin meningkatkan fungsi pengawasan secara efisien dan efektif dalam rangka membangun pemerintahan daerah yang governance demi mewujudkan cita-cita pembangunan nasional di daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar