Rabu, 30 September 2020

Parisipasi Masyarakat dan Pengawasan Keuangan Daerah

Adanya perubahan paradigma anggaran diera reformasi menuntut adanya partisipasi masyarakat (publik) dalam keseluruhan siklus anggaran. Untuk menciptakan akuntabilitas kepada publik diperlukan partisipasi kepala instansi dan warga masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan anggaran (Rubin, 1996). Achmadi dkk. (2002) menyebutkan bahwa partisipasi merupakan kunci sukses dari pelaksanaan otonomi daerah karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud disini termasuk pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak legislatif.

Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam setiap aktivitas proses penganggaran yang dilakukan oleh dewan pada saat penyusunan arah dan kebijakan, penentuan strategi dan prioritas serta  advokasi anggaran.

Peranan dewan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah akan dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat dalam advokasi anggaran. Jadi, selain pengetahuan tentang anggran yang mempengaruhi pengawasan yang dilakukan oleh dewan, partisipasi masyarakat diharapkan akan meningkatkan  fungsi pengawasan.

Pengetahuan dan Pengawasan Keuangan Daerah

Pengetahuan adalah  persepsi responden tentang anggaran (RAPBD/APBD) dan deteksi terhadap pemborosan atau kegagalan, dan kebocoran anggaran.

Dalam menjalankan fungsi dan peran anggota dewan, kapasitas dan posisi dewan sangat ditentukan oleh kemampuan bergaining position dalam memproduk sebuah kebijakan. Kapabilitas dan kemampuan dewan yang harus dimiliki antara lain pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman  dalam menyusun berbagai peraturan daerah selain kepiawaian dewan dalam berpolitik mewakili konstituen dan kepentingan kelompok dan partainya.

Beberapa penelitian yang menguji hubungan antara kualitas anggota dewan dengan kinerjanya diantaranya dilakukan oleh (Indradi, 2001; Syamsiar, 2001; 2002; Sutarnoto, 2002). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa kualitas dewan yang diukur dengan pendidikan, pengetahuan, pengalaman.dan keahlian berpengaruh terhadap kinerja dewan yang salah satunya adalah kinerja pada saat melakukan fungsi pengawasan. Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan pengetahuan untuk masa yang akan datang.

Yudono (2002) menyatakan, bahwa DPRD akan mampu menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif serta menempatkan kedudukannya secara proporsional jika setiap anggota mempunyai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi teknis penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan publik dan lain sebagainya. Pengetahuan yang dibutuhkan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran.

Pengawasan Keuangan Daerah

Pengawasan diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah di susun dapat berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis. Pengawasan menurut Keputusan Presiden No. 74 tahun 2001 (Tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah) Pasal 1(6) menyebutkan bahwa pengawasan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan yang dilakukan oleh dewan dapat berupa pengawasan secara langsung dan tidak langsung serta preventif dan represif. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi dengan cara mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri ditempat pekerjaan dan meminta secara langsung dari pelaksana dengan cara inspeksi. Sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan dengan cara mempelajari laporan yang diterima dari pelaksana. Pengawasan preventif dilakukan melalui pre-audit yaitu sebelum pekerjaan dimulai. Pengawasan represif dilakukan melalui post audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan ditempat (inspeksi).

Pengawasan merupakan tahap integral dengan keseluruhan tahap pada penyusunan dan pelaporan APBD. Pengawasan diperlukan pada setiap tahap bukan hanya pada tahap evaluasi saja (Mardiasmo, 2001). Pengawasan yang dilakukan oleh dewan dimulai pada saat proses penyusunan APBD, pengesahan APBD, pelaksanaan APBD dan pertanggungjawaban APBD. Alamsyah (1997) menyebutkan bahwa tujuan adanya pengawasan APBD adalah untuk: 
(1) menjaga agar anggaran yang disusun benar-benar dijalankan, 
(2) menjaga agar pelaksanaan APBD sesuai dengan anggaran yang telah digariskan, dan 
(3) menjaga agar hasil pelaksanaan APBD benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Pengertian Keuangan Daerah

Dalam pasal 1 PP. No. 105 tahun 2000 pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka APBD. Pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban tersebut yang dapat dinilai dengan  uang (Baswir,1999:13)

Bertolak dari pengertian keuangan negara tersebut diatas, maka pengertian keuangan daerah pada dasarnya sama dengan pengertian keuangan negara dimana “negara” dianalogikan dengan “daerah”. Hanya saja dalam konteks ini keuangan daerah adalah semua hak-hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang. Demikian pula sesuatu baik uang maupun barang yang dapat menjadi kekayaan daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak-hak kewajiban tersebut dan tentunya dalam batas-batas kewenangan daerah (Ichksan et.al 1997:19)

Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Akan Meningkatkan Fungsi Pengawasan

     Reformasi yang di perjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Salah satu agenda reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan Otonomi daerah.. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.

Dengan adanya UU No. 22/1999 terjadi perubahan signifikan mengenai hubungan legislaif dan eksekutif di daerah, karena kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki “power”. Dalam pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa “di daerah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.” Sementara itu yang dimaksudkan dengan Pemerintah Daerah adalah hanya “Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya:” Dan yang penting dari itu adalah “kedudukan” diantara kedua lembaga tersebut bersifat “sejajar dan menjadi mitra.”

Implikasi positif dari berlakunya Undang-undang tentang Otonomi Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hak-hak DPRD, diharapkan DPRD yang selanjutnya disebut dewan akan lebih aktif didalam menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama Kepala Daerah (Bupati dan Walikota).

Dampak lain yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai salah prasyarat penyelenggaraan pemerintah dengan mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi. Untuk mendukung akuntabilitas dan transparansi diperlukan internal control dan eksternal control yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka peran dari dewan menjadi semakin meningkat dalam mengontrol kebijaksanaan pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Anggaran menjelaskan bahwa: 1) Pengawasan atas anggaran dilakukan oleh dewan, 2) Dewan berwenang memerintahkan pemeriksa eksternal didaerah untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan anggaran.

Secara umum, lembaga legislatif mempunyai tiga funsi yaitu: 1) fungsi legislasi (fungsi membuat peraturan perundang-undangan), 2) fungsi anggaran (fungsi untuk menyusun anggaran) dan 3) fungsi pengawasan (fungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif). Dalam penelitian ini fungsi dewan yang akan dibahas adalah fungsi pengawasan anggaran. Permasalahannya adalah apakah dalam melaksanakan fungsi pengawasan lebih disebabkan pengetahuan dewan tentang anggaran ataukah lebih disebabkan karena permasalahan lain. Disamping itu, apakah partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik juga akan berpengaruh terhadap pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan.

Pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Pramono, 2002). Faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh dari pihak luar terhadap fungsi pengawasan oleh dewan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, diantaranya adalah adanya partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik.

 Dalam hal inin diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan literatur akuntansi khususnya akuntansi sektor publik dalam hal sistem pengendalian manajemen. Implikasi bagi  mengembangkan sampel yang lebih luas untuk anggota DPRD Propinsi atau bahkan DPRD Pusat. Diharapkan sampel yang diambil hanya anggota dewan pada Komisi C (Keuangan) dan Panitia Anggaran. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengontrol variabel pengetahuan dengan cara membedakan anggota dewan yang mempunyai masa jabatan lebih dari satu periode. Variabel lain yang dapat diteliti adalah kualitas SDM yang dapat diidentifikasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan.

Bagi masyarakat diharapkan semakin meningkatkan partisipasinya karena terbukti dengan adanya partisipasi masyarakat maka pengawasan yang dilakukan oleh dewan akan meningkat. Sementara, bagi pemerintah baik eksekutif maupun legislatif diharapkan meningfkatkan transparansi kebijakan publik sehingga akan meningkatkan tingkat pengawasan. Sedangkan bagi partai politik (parpol) diharapkan dapat menkader anggota dengan melakukan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM walaupun jabatan sebagai anggota dewan adalah jabatan politis. Dengan meningkatnya kualitas SDM diharapkan akan meningkatkan kinerja dewan.

Selasa, 29 September 2020

Pengertian Nilai dan Sifat Informasi


      Prinsip utama yang berkenaan dengan nilai dan sifat informasi ini adalah bahwa informasi hanya mempunyai nilai jika informasi tersebut dapat mengakibatkan suatu perubahan dalam tindakan yang diambil oleh para pengambil keputusan. Kesimpulan suatu data atau pernyataan seorang ahli dapat memberikan suatu pengetahuan baru, namun hal ini tidak akan  mempunyai nilai dalam konteks suatu persoalan keputusan tertentu selama informasi tambahan tersebut tidak dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, maupun tindakan seseo rang berkaitan dengan masalah atau persoalan keputusan yang dihadapinya.
      Pengertian tentang nilai informasi menurut Gorden B. Davis (1999: 115) mengemukakan bahwa, nilai informasi adalah nilai perubahan dalam perilaku keputusan yang disebabkan oleh informasi dikurangi biaya informasi tersebut.
      Sedangkan menurut Sondang P. Siagian (1997: 121) menyatakan  bahwa, nilai  adalah  konsepsi/ pandangan  hidup  yang dianut oleh seseorang tentang baik dan buruk, benar atau salah yang digunakan sebagai kriteria untuk mengambil keputusan dan kemudian melaksanakannya.
      Kedua definisi tersebut di atas, jelas bahwa suatu informasi hanya akan mempunyai nilai bila informasi dapat mengakibatkan perubahan dalam perilaku seseorang dalam  mengambil keputusan. 

Pengertian dan Jenis Pengawasan Keuangan Daerah


Pengawasan keuangan negara dan daerah merupakan bagian integral dari pengelolaan keuangan negara dan daerah. Menurut Baswir. Manajemen keuangan daerah dalam Halim A. (2004 : 307-308), bahwa berdasarkan pengertiannya pengawasan keuangan negara dan daerah pada dasarnya mencakup segala tindakan untuk menjamin agar pengelolaan keuangan negara dan daerah berjalan sesuai dengan rencaa, ketentuan dan undang-undang yang berlaku. Sedangkan berdasarkan obyeknya, pengawasan APBN / APBD, pengawasan BUMN / BUMD, maupun pengawsan barang-barang milik negara dan daerah lainnya.
Pengawasan bukan tahap tersendiri dari daur anggaran walaupun pengawasan sebagian besar berkaitan dengan pengawasan anggaran, namun pengawasan sesungguhnya merupakan bagian yang penting dari pengurusan keuangan negara dan daerah secara keseluruhan. Oleh karena itu bila dikaitkan dengan daur anggaran, maka pengawasan keuangan meliputi tahap penyusunannya, tahap pelaksanaannya, maupun tahap pertanggung jawabannya, Dengan kata lain pengawasan anggaran sudah harus dimulai sejak tahap penyusunannya dan baru berakhir pada tahap pertanggung jawaban.
Pengawasan keuangan negara dan daerah menurut ruang lingkupnya dibedakan menurut jenis, yaitu :
1.    Pengawasan intern, dapat dibedakan menjadi dua :
a.    Pengawasan intern dalam arti sempit, adalah pengawasan yang dilakukan oleh pengawas dimana pejabat yang diawasi itu dengan aparat pengawas sama-sama bernaung dalam pimpinan seorang menteri atau ketua lembaga negara. Lembaga yang bertugas melakukan pengawasan dalam arti sempit ini adalah inspektorat jenderal departemen (IRJENDEP), inspektorat wilayah propinsi (ITWILPROP), inspektorat wilayah daerah kabupaten (ITWILKAB), inspektorat wilayah daerah kota (ITWILKOT).
b.    Pengawasan intern dalam arti luas, pada dasarnya sama dengan pengawasan intern dalam arti sempit, perbedaan pokoknya hanya terletak pada adanya korelasi lansung pengawas dan pejabat yang diawasi, dalam arti pengawas yang melakukan pengawasan tidak bernaung dalam satu departemen atau lembaga negara tetapi masih dalam struktur organisasi pemerintahan. Fungsi pengawasan dalam arti luas ini diselenggarakan oleh badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPK) dan inspektorat jenderal pembangunan (IRJENDBANG).
2.    Pengawasan ekstern, adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang berada dalam organisasi yang diawasi dan tidak mempunyai hubungan kedinasan. Secara operasional, tugas pengawasan internal dilakukan oleh BPK, Disamping itu dikenal pula pengawasan legeslatif yang mempunyai arti adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh DPR, DPRD tingkat I dan tingkat II terhadap kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Bentuk pengawasan yang masih termasuk pengawasan eksternal adalah pengawasan masyarakat, yaitu suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tulisan kepada aparatur pemerintahan yang berkepentingan.

Merujuk pada pengertian pengawasan dan pengertian keuangan daerah yang dikemukakan, maka pengawasan keuangan daerah dapat diartikan sebagai segala kegiatan dan tindakan yang dilakukan untuk menjamin agar pengaturan dan pengelolaan segala hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang  dalam bentuk APBD, dapat dilakukan tidak menyimpang dari rencana yang digariskan untuk mencapai tujuan. Artinya pengawasan keuangan daerah dapat menjamin kesesuaian pengelolaan APBD dengan rencana dan tujuan yang telah ditetapkan.

Pengertian Keuangan Daerah

 

Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi pendapatan dan belanja daerah (APBD). Peraturan pemerintah republik indonesia (PP.RI) nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan sssdengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 4 dan 5 dikatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan dan kepatutan sehingga anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.

Syarat Efektivitas Pengawasan

 Berkaitan dengan bagaimana efektifnya suatu pengawasan, maka berikut beberapa pendapat mengenai syarat-syarat agar pengawasan berjalan efektif, antara lain :

Menurut Certo. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 44-45), bahwa agar pengawasan sukses, maka harus disadari bahwa :
1)    Sistem kontrol tertentu hanya berlaku untuk suatu organisasi tertentu. Artinya suatu sistem kontrol tidak akan dapat berlaku untuk semua badan (lembaga).
2)    Kegiatan kontrol harus dapat mencapai beberapa tujuan sekaligus, bukan hanya tujuan sektoral tetapi tujuan luas lainnya.
3)    Informasi untuk maksud kontrol harus diperoleh tepat waktu.
4)    Mekanisme kontrol harus dipahami semua orang yang ada dalam organisasi.
Kemudian menurut Duncan. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 45), mengemukakan beberapa sifat pengawasan yang efektif, sebagai berikut :
1)    Pengawasan harus dipahami sifat dan kegunaannya, oleh karena itu harus dikomunikasikan.
2)    Pengawasan harus mengikuti pola yang dianut oleh organisasi.
3)    Pengawasan harus dapat mengidentifikasi masalah organisasi.
4)    Pengawasan itu harus fleksibel.
5)    Pengawasan harus ekonomis.

Sedangkan menurut Bailey. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 45), mengemukakan beberapa syarat agar pengawasan dapat berjalan dengan efektif ditinjau dari kacamat akuntansi, antara lain :
1)    Struktur Organisasi yang baik yang dapat menunjukkan secara jelas perbedaan antara hak dan kewajiban masing-masing pejabat.
2)    Sistem otorisasi dan tanggung jawab yang jelas.
3)    Struktur akuntansi yang baik yang memiliki ciri :
  1. Adanya daftar susunan perkiraan.
  2. Pedoman akuntansi.
  3. Daftar tugas yang jelas diantara para pegawai pelaksana.
d.    Menggunakan perkiraan kontrol.
  1. Selalu memakai dokumen yang sudah diberi nomor.
  2. Metode lain dianjurkan untuk digunakan sepanjang dapat memperkuat sistem pengawasan.
4)    Kebijakan personalia yang baik.
5)    Adanya badan atau staf internal auditor yang independen dan kuat.
6)    Dewan pengawasan (komisaris) yang kompeten dan aktif.

Proses Pengawasan

Untuk melaksanakan pengawasan para peneliti dan praktisi telah mencoba meluruskannya dalam bentuk prosedur atau proses kegiatan yang dilalui dalam melaksanakan fungsi pangawasan. Berikut beberapa pendapat, antara lain :
         Menurut Belkaoui. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 35), bahwa langka umum yang diikuti dalam proses pengawasan, meliputi :
1)    Penyusunan tujuan.
2)    penetapan standar.
3)    pengukuran hasil kerja.
4)    perbandingan fakta dengan standar.
5)    perbaikan tindakan koreksi.

Kemudian menurut Williams C. (2001 : 274-279), bahwa proses pengontrolan terdiri dari :
1)    Standar, merupakan dasar perbandingan untuk mengukur tingkat pelaksanaan organisasi yang beraneka ragam adalah memuaskan atau tidak memuaskan. kriteria pertama untuk standar yang baik adalah bahwa hal tersebut harus mampu mencapai tujuan.
2)    Perbandingan standar, adalah membandingkan prestasi aktual dengan standar-standar prestasi.
3)    Tindakan perbaikan, adalah mengidentifikasikan penyimpangan prestasi, menganalisisnya, kemudian mengembangkan, dan melaksanakan program-program untuk memperbaikinya.
4)    Proses dinamis, bahwa pengontrolan merupakan proses yang dinamis dan berkesinambungan. Hal itu dimulai dengan prestasi nyata dan mengukur prestasi tersebut.
5)    Pengontrolan umpan balik adalah mekanisme untuk mengumpulkan informasi tentang ketidak sempurnaan prestasi setelah terjadi.
                                

Pengertian Pengawasan

          Pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen yang khusus berupaya agar rencana yang sudah ditetapkan dapat tercapai sebagaimana mestinya. Berikut beberapa pendapat tentang pengertian pengawasan, antara lain :

         Menurut Fayol H. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 10), bahwa pengawasan mencakup upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dipakai untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan agar dapat dihindari kejadiannya dikemudian hari.
         Menurut Duncan. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 10), mendefinisikan pengawasan sebagai tindakan yang menentukan apakah rencana tercapai atau tidak (the act of determining wehether or not plans have been accomplished).
         Menurut Sujamto. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 10), seorang yang berkecimpun dalam pengawasan keuangan negara, mendefinisikan pengawasan sebagai segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.
         Kemudian menurut Tjitrosodo S. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 11), bahwa yang dimaksud pengawasan (pengendalian) adalah tindakan pengaturan dan pengarahan pelaksanaan agar suatu tujuan tertentu dapat dicapai secara efektif dan efisien. Cirri-ciri utama pada pengawasan (pengendalian) adalah wewenang dan keterlibatan didalamnya.
         Selanjutnya menurut Terry G.R. Sistem pengawasan manajemen (management control system) dalam Harahap S.S. (2001 : 11), bahwa pengawasan yaitu suatu usaha meneliti kegiatan yang telah serta akan dilaksanakan. Pengawasan berorentasi pada objek yang dituju dan merupakan alat untuk menyuru orang-orang bekerja menuju sasaran yang ingin dicapai.
         Sedangkan menurut Williams C. (2001 : 273), bahwa pengawasan (pengontrolan) merupakan proses umum dari standar baku untuk mencapai tujuan organisasi. Membandingkan pelaksanaan aktual dengan standar-standar tersebut, dan mengambil tindakan perbaikan apabila diperlukan.
         Merujuk pada beberapa pengertian pengawasan yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan tidak menyimpang dari rencana yang digariskan sebelumnya untuk mencapai tujuan. Artinya pengawasan dapat menjamin kesesuaian tindakan dengan rencana kepada pencapaian tujuan organisasi.

Senin, 28 September 2020

Faktor Penentu Efektivitas

     Adapun faktor penentu efektivitas menurut Bana. Kebijakan dan manajemen keuangan daerah dalam Munir., dkk. (2004 : 45), sebagai berikut :

1)    Faktor sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat kerja serta ketersediaan dana.
2)    Faktor struktur organisasi yaitu sususnan yang stabil dari jabatan-jabatan, baik struktur maupun fungsional.
3)    Faktor teknologi dalam pelaksanaan pekerjaan/tugas.
4)    Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksana tugas pokok dan fungsinya, baik dari pimpinan maupun masyarakat.
5)    Faktor pimpinan dalam arti adanya kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor diatas kedalam suatu usaha yang dapat berdayaguna untuk percepatan pencapaian sasaran / tujun.

Pengertian Efektivitas

Efektivitas sebgai sistem nilai yang digunakan setiap organisasi (lembaga) untuk dapat mengukur keberhasilan (prestasi) dari suatu kegiatan yang dilakukan. Efektivitas secara etimologi berasal dari kata dasar efektive yang artinya berhasil, ditaati. Berikut ini kami kutip beberapa pengertian efektivitas, antara lain :
Menurut Jones dan Pendlebury. Manajemen keuangan daerah dalam Halim A. (2004 : 164), bahwa Efektivitas merupakan suatu ukuran keberhasilan atau kegagalan dari organisasi dalam menggapai tujuan.
Kemudian menurut Gie T.L. Manajemen keuangan daerah dalam Halim A. (2004 : 166), bahwa Efektivitas adalah suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu dan memang dikehendakinya, maka orang itu dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendakinya.
Selanjutnya menurut Steers R.M. Manajemen keuangan daerah dalam Halim A. (2004 : 166), bahwa Efektivitas harus dinilai atas tujuan yang bisa dilaksanakan dan bukan atas komsep tujuan yang maksimum. Jadi efektivitas menurut ukuran seberapa jauh organisasi berhasil menggapai tujuan yang layak dicapai.
Selain ketiga pendapat yang dikemukakan, pengertian efektivitas lebih khusus dan berhubungan dengan derajat keberhasilan pemerintah dalam hal urusan keuangan telah dikemukakan oleh Devas., dkk. (2004 : 43-44), bahwa efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas merupakan keberhasilan yang terukur atau nilai yang menunjukkan prestasi (keunggulan) dari suatu manajemen yang diterapkan untuk mencapai tujuan.

Transparansi Kebijakan Publik dan Pengawasan Keuangan Daerah

Selain adanya partisipasi masyarakat dalam siklus anggaran transparansi anggaran juga diperlukan untuk meningkatkan pengawasan. Transparansi merupakan salah satu prinsip dari good governance. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Anggaran yang disusun oleh pihak eksekutif dikatakan transparansi jika memenuhi beberapa kriteria berikut:
1.       Terdapat pengumuman kebijakan anggran
2.       Tersedia dokumen anggaran dan mudah diakses
3.       Tersedia laporan pertanggungjawaban yang tepat waktu
4.       Terakomodasinya suara/usulan rakyat
5.       Terdapat sistem pemberian informasi kepada pubik.
Menurut penulis asumsinya semakin transparan kebijakan publik yang dalam hal ini adalah APBD maka pengawasan yang dilakukan oleh dewan akan semakin meningkat karena masyarakat juga terlibat dalam mengawasi kebijakan publik tersebut. 

Parisipasi Masyarakat dan Pengawasan Keuangan Daerah

Adanya perubahan paradigma anggaran diera reformasi menuntut adanya partisipasi masyarakat (publik) dalam keseluruhan siklus anggaran. Untuk menciptakan akuntabilitas kepada publik diperlukan partisipasi kepala instansi dan warga masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan anggaran (Rubin, 1996). Achmadi dkk. (2002) menyebutkan bahwa partisipasi merupakan kunci sukses dari pelaksanaan otonomi daerah karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud disini termasuk pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak legislatif.
Peranan dewan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah akan dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat dalam advokasi anggaran. Jadi, selain pengetahuan tentang anggran yang mempengaruhi pengawasan yang dilakukan oleh dewan, partisipasi masyarakat diharapkan akan meningkatkan  fungsi pengawasan.

Minggu, 27 September 2020

Pengetahuan dan Pengawasan Keuangan Daerah

 

Dalam menjalankan fungsi dan peran anggota dewan, kapasitas dan posisi dewan sangat ditentukan oleh kemampuan bergaining position dalam memproduk sebuah kebijakan. Kapabilitas dan kemampuan dewan yang harus dimiliki antara lain pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman  dalam menyusun berbagai peraturan daerah selain kepiawaian dewan dalam berpolitik mewakili konstituen dan kepentingan kelompok dan partainya.
Beberapa penelitian yang menguji hubungan antara kualitas anggota dewan dengan kinerjanya diantaranya dilakukan oleh (Indradi, 2001; Syamsiar, 2001; 2002; Sutarnoto, 2002). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa kualitas dewan yang diukur dengan pendidikan, pengetahuan, pengalaman.dan keahlian berpengaruh terhadap kinerja dewan yang salah satunya adalah kinerja pada saat melakukan fungsi pengawasan. Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan pengetahuan untuk masa yang akan datang.
Yudono (2002) menyatakan, bahwa DPRD akan mampu menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif serta menempatkan kedudukannya secara proporsional jika setiap anggota mempunyai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi teknis penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan publik dan lain sebagainya. Pengetahuan yang dibutuhkan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran. Dengan mengetahui tentang anggran diharapkan anggota dewan dapat mendeteksi adanya pemborosan dan kebocoran anggran. 

Pengawasan Keuangan Daerah


Pengawasan diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah di susun dapat berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis. Pengawasan menurut Keputusan Presiden No. 74 tahun 2001 (Tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah) Pasal 1(6) menyebutkan bahwa pengawasan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan yang dilakukan oleh dewan dapat berupa pengawasan secara langsung dan tidak langsung serta preventif dan represif. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi dengan cara mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri ditempat pekerjaan dan meminta secara langsung dari pelaksana dengan cara inspeksi. Sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan dengan cara mempelajari laporan yang diterima dari pelaksana. Pengawasan preventif dilakukan melalui pre-audit yaitu sebelum pekerjaan dimulai. Pengawasan represif dilakukan melalui post audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan ditempat (inspeksi).
Pengawasan merupakan tahap integral dengan keseluruhan tahap pada penyusunan dan pelaporan APBD. Pengawasan diperlukan pada setiap tahap bukan hanya pada tahap evaluasi saja (Mardiasmo, 2001). Pengawasan yang dilakukan oleh dewan dimulai pada saat proses penyusunan APBD, pengesahan APBD, pelaksanaan APBD dan pertanggungjawaban APBD. Alamsyah (1997) menyebutkan bahwa tujuan adanya pengawasan APBD adalah untuk: (1) menjaga agar anggaran yang disusun benar-benar dijalankan, (2) menjaga agar pelaksanaan APBD sesuai dengan anggaran yang telah digariskan, dan (3) menjaga agar hasil pelaksanaan APBD benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Pengertian Keuangan Daerah

 

Pengertian Keuangan Daerah

Dalam pasal 1 PP. No. 105 tahun 2000 pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka APBD. Pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban tersebut yang dapat dinilai dengan  uang (Baswir,1999:13)
Bertolak dari pengertian keuangan negara tersebut diatas, maka pengertian keuangan daerah pada dasarnya sama dengan pengertian keuangan negara dimana “negara” dianalogikan dengan “daerah”. Hanya saja dalam konteks ini keuangan daerah adalah semua hak-hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang. Demikian pula sesuatu baik uang maupun barang yang dapat menjadi kekayaan daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak-hak kewajiban tersebut dan tentunya dalam batas-batas kewenangan daerah (Ichksan et.al 1997:19)

PARTISIPASI MASYARAKAT, TRANSPARANSI KEBIJAKAN PUBLIK DAN HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DEWAN TENTANG ANGGARAN DENGAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH

 Reformasi yang di perjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Salah satu agenda reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan Otonomi daerah.. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.

Dengan adanya UU No. 22/1999 terjadi perubahan signifikan mengenai hubungan legislaif dan eksekutif di daerah, karena kedua lembaga tersebut sama-sama memiliki “power”. Dalam pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa “di daerah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.” Sementara itu yang dimaksudkan dengan Pemerintah Daerah adalah hanya “Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya:” Dan yang penting dari itu adalah “kedudukan” diantara kedua lembaga tersebut bersifat “sejajar dan menjadi mitra.”

Implikasi positif dari berlakunya Undang-undang tentang Otonomi Daerah yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan hak-hak DPRD, diharapkan DPRD yang selanjutnya disebut dewan akan lebih aktif didalam menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama Kepala Daerah (Bupati dan Walikota).

Dampak lain yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai salah prasyarat penyelenggaraan pemerintah dengan mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi. Untuk mendukung akuntabilitas dan transparansi diperlukan internal control dan eksternal control yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka peran dari dewan menjadi semakin meningkat dalam mengontrol kebijaksanaan pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Anggaran menjelaskan bahwa: 1) Pengawasan atas anggaran dilakukan oleh dewan, 2) Dewan berwenang memerintahkan pemeriksa eksternal didaerah untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan anggaran.

Secara umum, lembaga legislatif mempunyai tiga funsi yaitu: 1) fungsi legislasi (fungsi membuat peraturan perundang-undangan), 2) fungsi anggaran (fungsi untuk menyusun anggaran) dan 3) fungsi pengawasan (fungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif). Dalam penelitian ini fungsi dewan yang akan dibahas adalah fungsi pengawasan anggaran. Permasalahannya adalah apakah dalam melaksanakan fungsi pengawasan lebih disebabkan pengetahuan dewan tentang anggaran ataukah lebih disebabkan karena permasalahan lain. Disamping itu, apakah partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik juga akan berpengaruh terhadap pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan.

Pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Pramono, 2002). Faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, salah satunya adalah pengetahuan tentang anggaran. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh dari pihak luar terhadap fungsi pengawasan oleh dewan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, diantaranya adalah adanya partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik.

Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Andriani (2002) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh dewan. Sementara Pramono (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menunjang fungsi pengawasan adalah adanya reformasi dan legitimasi wakil rakyat sedangkan faktor-faktor yang menghambat fungsi pengawasan adalah minimnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kurangnya sarana dan prasarana. 

Penelitian yang menguji apakah adanya partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik akan meningkatkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menguji kembali penelitian Andriani (2002) dengan memasukkan partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik sebagai variabel moderating yang diharapkan akan memperkuat atau memperlemah hubungan tersebut.

Oleh, 
SOPANAH
&
Mardiasmo


Kamis, 24 September 2020

KEBIJAKAN FISKAL DI ERA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS SEKTOR PENDIDKAN DI KABUPATEN DAN KOTA)

 Sejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia melalui babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana Otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hal ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar[1], khususnya pada bidang pendidikan yaang merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah dan telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan penduduk. 

Namun, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas, mengingat peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dalam penerimaan APBD daerah kota/kabupaten dan kesiapan sumber daya menusia (SDM) serta kemampuan manajemen sektor pendidikan tingkat daerah masih terbatas.

Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. 
Namun kecenderungan kearah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi peningkatan efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah serta kesejahteraan masyarakatnya.
Mengingat kepentingan di atas, maka patut dipertanyakan hingga sejauh mana pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menimbulkan implikasi buruk terhadap aktivitas penyelenggaraan pendidikan di daerah kota dan Kabupaten di Indonesia.

Pelaksanaan studi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan (a) respon daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten terhadap rancangan desentraliasi fiskal yang akan diimplementasikan pada awal 2001 dan (b) implikasi respon daerah terhadap desentralisasi fiskal pada bidang pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

Desentralisasi Fiskal – Penyelengaraan Pendidikan – Iklim usaha. Di Indonesia desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari program otonomi daerah yang dijalankan sejak tahun 2001. Pelaksanaan otonomi daerah dapat dipandang sebagai reformasi di bidang politik, kelembagaan dan sistem ekonomi. Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal perlu digaris bawahi bahwa UU tersebut tidak mengatur mengenai penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya bidang kesehatan dan pendidikan). 

Iklim usaha menggambarkan situasi lingkungan dimana kegiatan bisnis berlangsung. Aspek penting dari unsur sosial yang menentukan iklim usaha adalah “nilai” masyarakat setempat terhadap profesia pengusaha/pedagang dan penghargaan terhadap “kerja”. Faktor tingkat pendidikan masyarakat punya pengaruh bersar terhadap “nilai” dimaksud. Aspek ekonomi mencakup akses terhadap keamanan, infrastruktur, periijinan, informasi dan kredit. Hal penting lainnya adalah masalah hambatan dibidang perdagangan dan investasi, yang pada akhirnya akan menggerakan pertumbuhan ekonomi.

Globalisasi mendorong perubahan pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisasi, hal ini perlu dikenali hingga sejauh mana desentralisasi fiskal mengakibatkan perubahan biaya transaksi dalam perekonomian daerah dan kemampuan masyarakat dalam  pembiayaan pendidikan.

Keperpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang menyangkut anggaran pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami penurunan. Perioritas utama sektor pendidikan diarahkan untuk terpenuhinya  belanja pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel para guru, agar tidak terjadi pemogokan guru.  Hal ini diperlihatkan pada tabel di bawah.

 

Alokasi Anggaran  Sektor Pendidikan Sebelum dan Sesudah Otonomi

                                                                                                                        (jutaan rupiah_)

1999/2000
Porsi
2001
Porsi
Pendidikan
APBD
Pendidikan
APBD
Belanja Rutin
98,607
177,732
55,5%
161,765
375,315
43,1%
Belanja Pembangunan
3,370
41,877
8,0%
5,811
105,937
5,5%
Sumber : APBD Kebupaten 

                                                                                                (jutaan rupiah_)
1999/2000
Porsi
2001
Porsi
Pendidikan
APBD
Pendidikan
APBD
2.076
91.374
2,2%
1.393
76.159
1,8%
Sumber : APBD Kota  TA 1999/2000 dan TA 2001

Oleh : Walujo Djoko Indarto

Tujuan Utama Pelaporan Keuangan dalam rerangka Konseptual FSAB :

 1. Pelaporan keuangan harus menyediakan informasi yang bermanfaat bagi para investor dan kreditor dan pemakai lain, baik berjalan maupu...